Jumat, 02 Desember 2011

TAKSONOMI PEMBELAJARAN KOGNITIF

Anan Abdul Manan*



            Mengungkapkan kata taksonomi, membawa kita pada seorang tokoh terkenal yang merancang dan mengemukakan istilah ini. Bloom adalah orang terkenal  yang menggulirkan istilah taksonomi. Dalam pandangan Bloom, pembelajaran harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu, sehingga peserta didik yang mengharapkan perkembangan pengetahuan, dapat diukur menurut kemampuan-kemampuan khusus berupa kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor.
            Pembelajaran kognitif mengandung enam tingkatan pengetahuan dalam versi Bloom:
1.    Pengetahuan : menyusun, definisi, duplikasi, label, daftar, mengingat, nama, urutan, mengakui, kondisi         mereproduksi. Poin-poin ini setidaknya menunjukan kemahiran siswa dalam ranah pengetahuan mereka.
2.  Pemahaman : mengklasifikasi, menggambarkan, membahas, mengekspresikan, mengidentifikasi dan             lainnya, pada bagian-bagian yang mendorong siswa untuk menguasai bahan ajar, sehingga ia dapat mengurai bahan ajar yang diikutinya dalam persepsinya yang matang.
3.    Aplikasi : menerapkan, memilih, mendemontstrasikan, mendramatisasi dan masih banyak lagi untuk hal-hal yang berkaitan dengan pola penyesuaian ilmu pengetahuan yang dipelajarai dengan perilaku yang ditampilkan.
4.    Analisis : menganalisis, memuji, menghitung, mengategorisasi, dan yang serupa dengan itu, sehingga siswa mampu memberikan suatu kajian yang lebih cermat dan mendalam untuk materi yang dipelajarinya.
5.    Sintesis : menyusun, menyerupai, mengoleksi, menggubah, mengontruksi dan poin-poin lainnya yang           menghadirkan siswa pada situasi diri yang tertata dan terencana dalam menghadapi dan merespon mata pelajaran yang diikutinya.
6.   Evaluasi : menilai, memperdebatkan, menaksir, menyematkan dan hal-hal lainnya pada bagian-bagian          ranah cipta dan karsa yang mendorong peserta didik memahami dirinya sendiri dan ilmu pengetahuan yang dikajinya.**


*)Artikel untuk tugas Manajemen Delivery Method

**) disarikan dan disimpulkan dari buku Teori Pembelajaran dan Pengajaran Karya Mark. K. Smith dkk, terbit 2010, penerbit Mirza Media Pustaka, Jogjakarta.

JENIS TES OBJEKTIF PILIHAN GANDA DALAM PENILAIAN SUMATIF

A.       PENDAHULUAN

Melakukan evaluasi  merupakan bagian penting dalam pembelajaran. “Evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan sampai sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai oleh siswa”.[1] Dengan demikian melakukan evaluasi berarti memusatkan perhatian pada pekerjaan-pekerjaan serius untuk mengungkap kemajuan belajar siswa, mendapatkan informasi penguasan materi pembelajaran oleh siswa, menemukan kompetensi siswa secara keseluruhan yang mencakup aspek kognitif, afektif, psikomotor dan lainnya, yang berhubungan dengan tujuan pembelajaran.
“Evaluasi pendidikan ialah penaksiran terhadap pertumbuhan dan kemajuan siswa kearah tujuan-tujuan atau nilai-nilai yang telah ditetapkan di dalam kurikulum”.[2] Dalam arti melakukan evaluasi itu untuk menemukan ukuran keberhasilan belajar siswa dengan standar ketercapaian tujuan pembelajaran yang disajikan. Guru  sebagai pelaku proses  pembelajaran memiliki tanggung jawab untuk melakukan evaluasi ini dalam upaya memenuhi tuntutan kurikulum, dan untuk menentukan sikap  bagi proses pembelajaran berikutnya.
Melaksanakan evaluasi dapat dilakukan oleh guru sebelum, selama dan setelah pembelajaran dilangsungkan. Meliputi input, proses dan output. Mengenai penilaian sumatif, ia termasuk kedalam evaluasi proses, sebab ia dilakukan pada akhir semester tertentu atau akhir caturwulan tertentu untuk mengukur sejauhmana ketercapaian tujuan belajar siswa.” Penilaian sumatif adalah penilaian yang dilakukan untuk memperoleh data atau informasi sampai dimana penguasaan atau pencapaian belajar siswa terhadap bahan pelajaran yang telah dipelajarinya selama jangka waktu tertentu”.[3] Dengan kata lain, setelah penilaian sumatif  ini akan ada lagi evaluasi yang lebih luas jangkauannya, misalnya Ujian Nasional. Maka penulis menggolongkan penilaian sumatif pada evaluasi proses bukan output.
Mengenai pola pelaksanaan dan jenis tes yang diberikan, untuk penilaian sumatif dapat dipilih jenis tes objektif, “yakni tes yang jawabannya dapat diberi skor nilai secara lugas (seadanya) menurut pedoman yang ditentukan sebelumnya”.[4]  Jenis tes objektif ini memiliki instrumen yang banyak, diantaranya pilihan ganda.
Makalah ini akan menyajikan jenis  tes objektif pilihan ganda dalam melaksanakan penilaian sumatif, dengan latar belakang seringnya  tes ini dipilih oleh lembaga pendidikan pada saat melaksanakan penilaian tersebut.

B.       TES OBJEKTIF
“Secara garis besar ada dua macam bentuk penilaian, yaitu test obyektif dan test subyektif atau yang biasa juga disebut essay examination”.[5]
Tes Objektif memiliki ciri khas disajikan dalam bentuk alternatif  jawaban-jawaban, pengisian titik-titik dan sebagainya (misalnya pencocockan), sehingga  yang dilakukan pada test ini adalah menyajikan pernyataan atau pertanyaan yang didalamnya  memberikan pilihan alternatif jawaban kepada siswa, untuk dipilih  dengan   seksama, sehingga jawaban tersebut benar.
Bentuk tes yang disajikan guru dengan kriteria seperti diatas, dikatakan bentuk tes objektif “yakni tes yang jawabannya dapat diberi skor secara lugas (seadanya) menurut pedoman yang ditentukan sebelumnya.”[6]
Dengan kata lain pelaksanaan penilaian dengan bentuk objektif ini dapat memberikan gambaran dengan jelas mengenai penguasaan materi oleh siswa pada rentang waktu tertentu.
           
C.       PILIHAN GANDA SEBAGAI MODEL TES OBJEKTIF
“Item-item dalam tes pilihan berganda (multiple choice) biasanya berupa pertanyaan atau pernyataan yang dapat dijawab dengan memilih salah satu dari empat atau lima alternatif jawaban yang mengiringi setiap soal”.[7] artinya pilihan-pilihan telah disediakan pembuat soal, untuk dipilih siswa sesuai dengan pernyataan atau pertanyaannya, sehingga terjadi kesesuaian antara pertanyaan atau pernyataan yang disajikan dengan jawaban yang dipilih siswa.
Pilihan berganda disajikan dengan teknik tertentu yang memungkinkan terjadinya kesetaraan antara item-item yang disajikan, dengan demikian ketika dilakukan pemilihan item mana yang sesuai dengan pertanyaan atau pernyataan, pemilih dihadapkan pada dua atau lebih pilihan yang mirip, dengan demikian perlu adanya seleksi yang ketat dari sipemilih tersebut. Ketika terjadi proses pemilihan item yang tepat inilah sebenarnya kompetensi seorang siswa diuji. Kesanggupan siswa memilih item yang tepat menunjukan ia menguasai pertanyaan atau pernyataan yang disajikan, artinya ia menguasai suatu kompetensi tertentu dalam pembelajaran yang diikuti sebelumnya. Jika ini terjadi, sama artinya dengan siswa tersebut telah mencapai tujuan belajarnya.
Tes pilihan berganda memiliki kelebihan dan kekurangan, diantara kelebihan tes pilihan berganda ini adalah :
1.    Test pilihan berganda dapat disusun untuk meneliti secara efektif kemampuan pelajar untuk membuat tafsiran, melakukan pemilihan, mendiskriminasikan, menentukan pendapat, menarik kesimpulan
2.    Cara penilaian dapat mudah dan cepat dilakukan serta obyektif
3.    Faktor terkaan (menebak-nebak) dapat dihilangkan atau setidak-tidaknya dapat dikurangi sampai minimal. [8]
Adapun kekurangan tes pilihan berganda adalah :
1.    Kurang mendorong kreativitas ranah cipta dan karsa siswa, karena ia hanya merasa disuruh berspekulasi, yakni menebak dan menyilang secara untung-untungan
2.    Sering terdapat dua jawaban (diantara empat atau lima alternatif) yang identik atau sangat mirip, sehingga terkesan kurang diskriminatif
3.    Sering terdapat satu jawaban yang sangat mencolok kebenarannya, sehingga jawaban-jawaban lainnya terlalu gampang untuk ditinggalkan.[9]

D.       PENILAIAN SUMATIF DENGAN MENGGUNAKAN PILIHAN GANDA
Telah dikemukakan didepan bahwa pilihan berganda dalam tes objektif memiliki keemahan dan keunggulan. Hal ini semata-mata untuk memberikan gambaran kepada guru, bahwa segala model tes yang dilakukan akan memiliki kelemahan disamping kelebihannya.
Bagaimana halnya dengan penilaian sumatif yang menggunakan pilihan berganda sebagai alat atau instrumen tes-nya?
Pada model pilihan berganda, adanya beberapa jawaban yang harus dipilih siswa memungkinkan ranah analisis siswa berkembang, sebab secara tidak langsung siswa harus mendeteksi kecocokan jawaban-jawaban tersebut dengan pertanyaan atau pernyataan yang diajukan.
Pada saat siswa menentukan jawaban mana yang sesuai dengan pernyataan atau pertanyaan dalam persepsinya, menunjukan bahwa siswa telah memiliki kesimpulan yang jelas mengenai analisis yang dilakukannya, atau dalam kaitan ini siswa telah berada pada posisi keyakinan pengetahuan, walaupun jawaban yang dipilihnya belum tentu benar. Secara kognitif,  hal tersebut  bermanfaat bagi siswa, yakni  pada posisi ia sanggup mengambil keputusan dalam jangka waktu terbatas, mengingat tes dengan pilihan berganda ini biasanya disajikan dalam jumlah yang banyak dengan waktu yang relatif sedikit. (Kajian mengenai waktu tes pilihan berganda antara 2 s/d 3 menit per poin pertanyaan atau pernyataan, bahkan bisa lebih sedikit dari itu).
Perlu diingat oleh guru, bahwa penilaian sumatif dilakukan untuk mengukur kemampuan siswa dalam jangka waktu tertentu (semester atau caturwulan). Karena itu dalam menyusun tes pilihan berganda ini guru hendaknya menitikberatkan pada aspek penguasaan yang lebih tinggi dibanding pada saat melakukan penilaian sebelumnya. Aspek kemampuan hendaknya diberikan proporsi yang lebih besar diabanding afektif dan psikomotor. Hal ini dilakukan agar tujuan mengetahui pemahaman siswa akan materi pembelajaran dapat terlaksana dengan baik.
Dalam penilaian sumatif dengan pilihan berganda, tingkat kesukaran soal-soal atau pernyataan-pernyataan sangat penting untuk diperhatikan, sebab hasil tes ini akan digunakan guru untuk menentukan kelayakan siswa untuk pindah atau naik ke kelas yang lebih tinggi. Inilah salah satu fungsi tes sumatif dengan pilihan berganda.

E.        PENUTUPAN
Penilaian Sumatif merupakan penilaian yang dilakukan setelah siswa mengikuti pembelajaran dalam jangka waktu tertentu, untuk menentukan kenaikan tingkat pendidikan mereka. Penilaian  sumatif bisa dilakukan dengan tes objektif pilihan berganda, yang memiliki keunggulan dari sisi penyajian dan analisis, sehingga guru dapat mengetahui sejauhmana pemahaman siswa terhadap bidang yang dipelajarinya.


       [1] Norman E. Gronlund (1976) dalam Ngalim Purwanto, Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, 3
       [2] Wrightstone dkk (1956 : 16) dalam Ngalim Purwanto, Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, 3
       [3] Ngalim Purwanto, Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, 26
       [4] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, 146
       [5] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, CV Rajawali, Jakarta, 1984, 334
        [6] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, 146
       [7] Ibid, halaman 146 
       [8] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, CV Rajawali, Jakarta, 1984, 346
        [9] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, 147

Senin, 21 November 2011

BAKAT DAN MINAT SISWA MODAL PENTING PEMBELAJARAN


A.   PENDAHULUAN
Lembaga Pendidikan dalam era multikultural sekarang ini, tentu memiliki peserta didik dari berbagai kalangan dengan bakat dan minat yang berbeda satu sama lain. Keadaan ini secara tidak langsung telah mendorong lembaga pendidikan memiliki respon yang baik terhadap peserta didik yang ada. Lembaga pendidikan dituntut mampu mengadopsi seluruh kebutuhan siswa dengan latar belakang bakat dan minat yang berbeda.
Untuk menjawab tantangan tersebut, lembaga pendidikan semestinya memiliki kebijakan yang berpihak kepada peserta didik, terutama dalam mengembangkan bakat yang mereka bawa dan minat yang perlu dikemas. Upaya tersebut,  salah satunya dapat diterapkan dalam proses pembelajaran sebagai media utama pengembangan bakat dan minat.
Dalam proses pembelajaran, guru sebagai fasilitator semestinya memiliki kepekaan yang kuat pada bakat dan minat peserta didiknya. Dengan mengetahui bakat dan minat peserta didik sebenarnya guru telah menemukan salah satu faktor yang dapat mendorong peserta didik tersebut sampai pada tujuan belajarnya.
Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai bakat dan minat peserta didik, sebagai salah satu karakteristik siswa dalam sebuah lembaga pendidikan, yang dapat dikembangkan dan dikemas sedemikian rupa oleh lembaga pendidikan dalam upaya mengantarkan peserta didik pada kompetensi yang sesuai dengan bakat dan minatnya.

B.    BAKAT DAN MINAT
a.    Bakat
Secara umum, bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Chaplin, 1972; Reber, 1988).[1] Artinya bahwa semua orang dari semua kalangan memiliki bakat masing-masing yang akan mengantarkan pribadinya pada suatu kemapanan tertentu sesuai dengan bakat yang dimilikinya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita menemukan individu dengan kemampuan dan keterampilan khusus, hal ini tentu karena bakat yang mereka miliki dan telah berkembang sedemikian rupa, sehingga menjadi suatu skill khusus yang membedakanya dengan orang lain. William B. Michael memberi definisi bakat sebagai berikut: An aptitude may be defined as a person’s capacity, or hypothetical potential, for acquisition of a certain more or less welldefined pattern of behavior involved in the performance of a task respect to which the individual has had little or no previous training (Michael, 1960, p. 59).[2]
b.    Minat
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.(Muhibbin Syah, 2000 : 136). Dengan minat ini, peserta didik dapat melakukan sesuatu secara maksimal,  jika hal ini terjadi dalam proses pembelajaran, maka dengan minat khusus,  tujuan pembelajaran baginya lebih cepat dikuasai, atau meskipun lambat, tujuan itu tetap mereka raih karena kegigihan usaha dari minatnya tersebut.
Minat merupakan sifat yang tertanam dalam diri individu, sehingga ia merupakan motivasi internal yang berkembang dalam merespon stimulus diluarnya. Jika stimulus yang datang adalah proses pembelajaran, maka minat ini akan muncul pada sikap peserta didik dalam menanggapi mata pelajaran yang disajikan.  dalam kaitan ini, dimungkinkan seorang peserta didik lebih menyukai suatu mata pelajaran tertentu sesuai dengan minat dalam dirinya. 
                  
C.    UPAYA MENGEMBANGKAN BAKAT DAN MENGAKTIVASI MINAT
Setelah memahami apakah itu bakat dan minat, berikutnya lembaga pendidikan khususnya guru dituntut mampu mengembangkan keduanya agar memiliki signifikansi terhadap hasil pembelajaran. Pengetahuan dan pemahaman tentang bakat dan minat digunakan guru sebagai acuan pengembangan proses pembelajaran.  Pembelajaran yang menggunakan dua potensi besar ini dimungkinkan memiliki kecenderungan berhasil yang lebih besar. Perencanaan pembelajaran yang mengefektifkan bakat dan minat sudah selayaknya digunakan oleh lembaga pendidikan, khususnya guru dimasa modern ini.
a.    Mengembangkan bakat
Sebagaimana telah diurai dimuka, bahwa bakat dimiliki oleh setiap individu. Peserta didik yang akan mengukuti pembelajaran datang dengan membawa bakat ini. Disinilah peran guru sebagai fasilitator dapat mengembangkan bakat peserta didik. Hal-hal yang mungkin dapat dilakukan guru dalam mengembangkan bakat peserta didik  adalah sebagai berikut:
1.    Kenali bakat setiap peserta didik. Dengan mengenali bakat peserta didik, maka guru memiliki acuan yang jelas dalam mengembangkan bakat peserta didik tersebut. Bakat dalam hal ini bisa berupa IQ dan SQ. Peserta didik dengan IQ tinggi harus diperlakukan berbeda dengan peserta didik dengan IQ sedang atau biasa saja. Dengan mengenali bakat ini, maka guru dapat memberi motivasi kepada peserta didik untuk mencapai bakat maksimalnya. “seorang siswa yang berbakat dalam bidang elektro, misalnya, akan jauh lebih mudah menyerap informasi, pengetahuan, dan keterampilannya yang berhubungan dengan bidang tersebut dibanding dengan siswa lainnya. (Muhibbin Syah, 2000 : 136)
2.    Menggunakan Pendekatan Individual dalam pembelajaran
“Rencana Keller (The Keller Plan), pengajaran yang ditentukan secara individual, Program bagi Pembelajaran dalam kesesuaianya dengan kebutuhan, dan pendidikan berpadukan secara individual......”(Mark. K. Smith, 2010 : 94). Dalam teori ini, setelah mengenali bakat peserta didik guru memberikan materi sesuai dengan bakat yang mereka miliki. Misalnya sistem KBK yang diterapkan saat ini, merupakan upaya mengefektifkan pengajaran yang bersifat individual. Individu dengan bakat yang bagus, mungkin akan lebih cepat menguasai matrei yang diajikan oleh guru, sehingga ia layak mengikuti akselerasi materi, walaupun teman-teman dikelasnya belum menguasai materi tersebut. Tetapi untuk melakukan ini,  guru harus menyediakan waktu dan fikiran yang lumayan besar.
b.    Mengaktivasi minat
Minat  kadang berubah tinggi atau rendah, jika kita mengacu pada pengertian minat menurut Muhibbin Syah. Artinya minat  masih bisa diaktivasi. Ia merupakan gejala jiwa yang masih bisa dipengaruhi dari luar (Motivasi ekternal). Guru dengan penampilan menarik dan menyajikan materi dengan menarik pula tentu akan lebih diminati oleh siswa dibanding dengan kebalikannya. Hal ini menunjukan bahwa minat merupakan suatu yang timbul dari diri seorang peserta didik, tetapi melalui rangsangan dari luar. Sehingga respon muncul dengan sukarela dan bermakna.
Untuk sampai pada kemampuan mengaktivasi minat peserta didik, “pendidik dapat mengatur strategi pendidikan dengan mendasarkan kepada kesiapan anak untuk menerima memahami dan menguasai bahan pendidikan sesuai dengan kemampuan anak”. (Abu Ahmadi, 1991 : 220). Karena itu, dalam melakukan pemberdayaan minat ini beberapa hal berikut dapat menjadi solusi bagi seorang guru.
1.    Kenali motivasi peserta didik
Mengenali motivasi belajar peserta didik dapat dilakukan pada waktu pembelajaran berlangsung. Ternyata banyak peserta didik yang menyukai mata pelajaran  khusus, misalnya hanya IPA saja, atau IPS saja atau yang lainnya, kondisi seperti inilah yang menantang  guru mempunyai kompetensi untuk mengajarkan materi  berbasis minat mereka.
2.    Kenali tingkat usia peserta didik
Ranah psikologi ini memungkinkan individu mempunyai sifat-sifat khusus dan kondisi yang khusus berdasarkan usia mereka, oleh karena itu guru harus pandai mengolah taraf usia ini. Perlakuan terhadap siswa SD tentu saja harus berbeda dengan siswa SMP, begitu juga seterusnya pada jenjang usia yang lebih tinggi.
3.    Kenali lingkungan peserta didik
Lingkungan merupakan tempat hidup peserta didik terbanyak dalam kesehariannya. Warna kehidupan dilingkungan mereka akan berpengaruh pada kondisi minatnya. Sebagai contoh, anak yang berada pada lingkungan pengrajin, akan terpengaruh menjadi pengrajin.
4.    Ciptakan komunikasi dua arah
Komunikasi dikelas mesti dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi agar materi yang diberikan dapat dicapai Tujuan Intruksional Khususnya (TIK). Berbagai metode komunikasi, yang berkembang dari satu arah menjadi berbagai arah di dalam kelas akan memeriahkan interaksi antara guru dan murid, antara murid dengan murid lainnya. ( Elfindri, 2010 : 119)

D.   PEMBELAJARAN BERBASIS BAKAT DAN MINAT
Teori pembelajaran kontruktivisme agaknya cocok untuk diadopsi dalam pembelajaran berbasis bakat dan minat, sebab ia memiliki kekunggulan dalam hal konsturksi pengetahuan dan keterampilan. “Karena pembelajar mampu menafsirkan realitas-realitas ganda, pembelajar menjadi mampu dengan lebih baik menghadapi situasi kehidupan nyata. Jika seorang pembelajar bisa menyelesaikan masalah, mereka mungkin menggunakan pengetahuan yang mereka punyai dengan lebih baik bagi sebuah situasi baru (Schuman, 1996)[3]
Setelah memilih teori pembelajaran yang cocok, selanjutnya dilakukan analisis perencenaan pembelajaran yang tepat sesuai bakat dan minat siswa. Maka proses pembelajaran dilakukan sesuai perencanaan tersebut.
Dalam mengorganisasi pembelajaran berbasis bakat dan minat, guru dituntut lebih teliti dan tertib, sebab mungkin saja dalam waktu bersamaan guru dituntut melayani siswa dalam jumlah yang banyak dengan latar bealakang bakat dan minat mereka. Untuk meringankan beban guru, pembelajaran berbasis bakat dan minat ini sebaiknya diselenggarakan dalam kelas kecil yang terdiri dari 5 – 10 siswa dalam satu proses pembelajaran. Dalam kondisi  jumlah siswa lebih banyak dari itu dilakukan team teaching atau timwork.

E.    PENUTUPAN
Proses pembelajaran yang dilakukan berdasarkan bakat dan minat memungkinkan peserta didik lebih memahami materi yang dipelajari, tetapi menuntut guru memiliki pengetahuan, persiapan dan organisasi kelas yang maksimal. Pembelajaran berbasis bakat dan minat dewasa ini menjadi sebuah harapan, sebab output pendidikan di era modern dituntut memiliki lifeskil yang bagus, agar dapat hidup layak di tengah modernitas.



Daftar Pustaka

1.    Abu Ahmadi, Drs. H., 1991,  Ilmu Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta
2.    Elfindri, Prof. Dr., 2010, soft Skills untuk Pendidik, Baduose Media,
3.    Mark K. Smith, 2010, Teori Pembelajaran dan Pengajaran, Mirza Media Pustaka, Yogyakarta
4.    Muhibbin Syah, 2000, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung
5.    Sumadi Suryabrata, 1984, Psikologi Pendidikan, Rajawali, Jakarta


[1] Disadur dari  buku Psikologi Pendidikan karya Muhibbin Syah, M. Ed. Tahun 2000 halaman 135.
[2] Disadur dari buku Psikologi Pendidikan karya Sumadi Suryabrata, tahun 1984, Rajawali, Jakarta halaman 170.
[3] Baca, Teori Pembelajaran dan Pengajaran, Karya Mark. K. Smith, 2010 hal. 108